03 Oktober 2014

Ini Penyebab Harga Produk Indonesia Tidak Bisa Murah

Wakil Menteri Perdagangan Indonesia, Bapak Bayu Krisnamurthi, pada acara  "Workshop Internasional SMEs in the Borderless Era, Shaping Opportunity in the Global Value Chain" di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu (1/10/2014) berkata: "Produk Indonesia sulit bersaing harga dengan produk Tiongkok. Tiongkok dapat menjual produk dengan harga murah karena produksinya besar. Dari produksi yang cukup besar itu, timbul efisiensi pengeluaran biaya perusahaan, termasuk ongkos tenaga kerja. Karena produksi besar dan biaya rata-ratanya rendah".

Dari kutipan di atas saya dapat menyimpulkan bahwa Yang Terhormat Bapak Bayu masih menganut sistem Cost Accounting. 
Pada artikel saya terdahulu, saya sudah membahas bagaimana caranya sistem cost accounting membunuh daya saing sebuah perusahaan. Sekarang saya ingin membahas mengapa Cost Accounting diciptakan.

Laporan keuangan sebuah perusahaan secara garis besar akan terlihat sebagai berikut:
Penjualan
HPP(-)
------------------------------------------
Gross Profit
Biaya Marketing & Sales (-)
Biaya Umum & Administrasi (-)
-----------------------------------------
EBITDA
Depresiasi (-)
Amortisasi (-)
Bunga pinjaman (-)
------------------------------------------
EBT
Pajak (-)
------------------------------------------
Net Profit

Perhatikan baris pertama: Penjualan. Angka total penjualan adalah terdiri dari penjualan dari masing-masing produk.
Rumusnya adalah:
Sales(Total) = Sales(Produk A) + Sales(Produk B) + ..... + Sales(Produk N)

Dengan mudah kita bisa lihat penjualan per produk.
Namun ada godaan bagi pengambil keputusan untuk mengetahui produk mana yang memberikan kontribusi Net Profit yang paling tinggi/rendah. Tujuannya adalah agar mengetahui produk mana yang akan diteruskan/digenjot atau malah perlu dihentikan.

Di sini permasalahan mulai muncul.
Biaya operasional secara total dibentuk dari akumulasi biaya per masing-masing divisi.
Rumus biaya operasional total adalah:
Biaya(Total) = Biaya(Divisi A) + Biaya(Divisi B) + ..... + Biaya(Divisi N)

Lalu bagaimana caranya kita bisa mengetahui Laba rugi per produk?
Maka ide kreatif mulai muncul.
Rumus yang tadinya adalah:
Net Profit(total) = Sales(total) - Biaya(Total)    (*)

(*) catatan: Untuk menyederhanakan rumus, Sales yang dimaksud di sini adalah Net Sales di mana penjualan sudah dipotong dengan HPP. Biaya(total) adalah semua biaya yang mengurangi Gross Profit.

ingin diubah menjadi:
Net Profit(total) = Net Profit(produk A) + Net Profit(Produk B) + .... + Net Profit(Produk C)
yang berlanjut menjadi:

Net Profit(Total) = (Sales(Produk A) - Biaya(Produk A)) + (Sales(Produk B) - Biaya(Produk B)) + ... + (Sales(Produk N) - Biaya(produk N))

Apakah Anda masih bisa ikuti?
Nah, di sinilah muncul permasalahan.
Kita tidak mempunyai angka untuk biaya per produk. Kita hanya punya biaya per divisi.
Di sinilah mulai muncul istilah "Alokasi". Setiap biaya kantor akan dialokasikan ke Harga Pokok Produk (HPP).
Mulai dari: depresiasi, biaya listrik, sampai ke biaya gaji, termasuk gaji direktur.

Bagaimana caranya untuk melakukan alokasi, masing-masing perusahaan mempunyai caranya sendiri-sendiri. Saya sudah bahas beberapa contohnya di sini
Situasinya adalah: cara menghitung HPP hasil alokasi ini sudah mendarah daging di dalam sistem akuntansi sehingga saat ini sudah dianggap sebagai sebuah kebenaran.

Kembali ke kutipan Pak Bayu di atas. Beliau menganggap bahwa Tiongkok bisa efisien karena produksinya bisa banyak sehingga harga jualnya murah.
Pertanyaannya: Mana yang datang duluan? Produksi banyak atau harga murah?
Bagaimana kita bisa produksi banyak bila harganya mahal? Bagaimana harga kita bisa murah bila HPP-nya dibebankan dengan biaya depresiasi mesin yang harganya Milyardan?

Menjawab judul artikel saya: Penyebab harga produk Indonesia tidak bisa murah bukan karena jumlah produksinya kecil, tapi karena HPP-nya sudah dibebankan dengan biaya gaji direktur.
Bagaimana caranya bisa murah? Kembali ke dasar lagi. Hitung HPP hanya dari harga bahan baku saja. Dengan demikian harga jualnya bisa diturunkan. Kalau harga jual turun maka pembeli akan banyak beli. Kalau banyak yang beli maka jumlah produksi akan meningkat. Pada akhirnya laba kotor ini cukup untuk menutup biaya operasional.

Demikian dari saya. Semoga bisa memberikan pencerahan.