31 Juli 2018

Pelajaran dari Perjalanan ke AS

Dalam artikel saya kali ini, saya ingin membagikan pengalaman saya saat jalan-jalan di negeri Paman Sam saat musim panas tahun 2018 yang dilihat dari sudut pandang Personal Development.

Saya beruntung. Harusnya istri saya yang pergi ikut Tur keliling ke Amerika Serikat. Namun karena dia tidak berhasil mendapatkan visa, maka saya yang masih memiliki visa AS yang aktif mendapat kesempatan ini.

Perjalanan panjang naik pesawat Eva Air saya nikmati dengan makan dan tidur sambil nonton film selama 23 jam. Beberapa jam terakhir sebelum mendarat di bandara San Fransisco, saya berusaha untuk melek agar bisa segera tidur di hotel untuk melawan Jet Lag.

Setelah mendarat di bandara San Fransisco, rombongan kami langsung di giring ke arah imigrasi. Satu hal yang langsung menarik perhatian kami semua adalah seorang petugas imigrasi wanita yang berhijab. Tiba-tiba ada salah satu peserta tur yang kebetulan juga berhijab menyeletuk: "O, ternyata ada juga orang Amerika yang berjilbab ya?". Hal ini membuktikan bahwa AS tidak sediskriminasi yang diberitakan.

Semua rombongan kami bisa melewati imigrasi dengan lancar dan tiba di hotel tengah malam. Saya langsung tidur dan bertekad untuk melawan jet lag secepat mungkin.

Hari Pertama

Pukul 5:00 pagi, saya sudah melek dan memaksa tubuh saya untuk berolah raga. Setelah itu dilanjutkan dengan enema kopi sudah rutin saya lakukan dalam 3 tahun terakhir ini. Selesai mandi, saya lanjutkan dengan aktivitas spiritual harian saya. Itu memang tekad saya, walaupun liburan, kebiasaan rutin tetap harus dijalankan dengan disiplin.

Tantangan pertama datang saat sarapan di hotel. Hotel menyediakan sarapan ala Amerika. Godaannya masih bisa saya tahan. Seperti di rumah, saya hanya minum air putih (yang kalau di Amerika langsung ambil dari keran) serta apel saja. Tantangan bisa dilewati dengan baik.

Setelah sarapan kami langsung dibawa ke landmark-nya kota San Fransisco, yaitu Golden Gate Bridge. Sayangnya, suasananya lagi berkabut. Jadi kami langsung dibawa ke Sausalito, pelabuhan kecil dengan pemandangan yang indah.

Di tempat ini kami juga dibawa ke sebuah toko roti. Saya membeli roti dalam jumlah, yang karena lapar mata, terlalu banyak sehingga harus dibuang pada hari ke-3 karena tidak sempat dimakan.

Pelajaran pertama: Jangan belanja di saat lapar.

Dari Sausalito kami dibawa makan siang di Hard Rock Cafe. Restoran top serta waiter yang cantik dan ganteng ternyata tidak menjamin layanannya memuaskan. Makanan yang sudah kami booking beberapa hari yang lalu masih memerlukan waktu hampir 1 jam untuk bisa kami nikmati. Selesai makan, saya lihat-lihat di toko yang menjual souvenir Hard Rock Cafe. Saya tidak membeli 1 pun karena menurut saya harga-harganya terlalu mahal untuk produk-produk buatan China.
Pelajaran kedua: Jangan tertipu dengan merek terkenal/mahal.

Setelah makan siang, kami dibawa ke pusat kota San Fransisco yang disebut dengan Union Square. Tour leader ada menceritakan sekilas mengenai sejarah tempat tersebut. Sayangnya saya tidak ingat. Bila Anda tertarik untuk mengetahuinya, silakan google sendiri ya.
Di sini masing masing peserta dikasih waktu bebas untuk jalan-jalan dan berbelanja. Saya sendiri, karena tidak suka shopping, mulai jalan-jalan tanpa arah. Tiba-tiba saya melihat sebuah bis kota yang badannya penuh dengan iklan Facebook. Hal ini menarik perhatian saya karena sebagai negara pengguna Facebook terbesar nomor 4 di dunia, saya belum pernah melihat Facebook memasang iklan di Indonesia. Yang ada adalah perusahaan Indonesia pasang iklan di Facebook. Ini adalah contoh situasi satu pihak yang menerima, tapi tidak memberi.

Hari pertama kami diakhiri dengan makan malam di sebuah restoran yang bernama Moonstar. Sebuah restoran seafood all you can eat. Rombongan kami terkejut saat bis yang mengantar kami masuk ke parkiran restoran ini. Ada puluhan orang antri di depan restoran ini. Setelah kami masuk, baru kami sadari, memang pantas restoran ini diantri. Makanan yang disediakan sangat banyak sekali ragamnya. Rasanya juga sangat menggugah selera. Tetapi yang menarik dari restoran ini bukan di cita rasa masakannya. Saat saya akan keluar dari restoran, terlihat banyak piagam penghargaan yang dipajang di dinding ruang tunggunya.
Penghargaan didapat karena restoran itu banyak ikut berpartisipasi dalam program Corporate Social Responsibilities di bidang linkungan. Ternyata pemilik restoran ini bukan hanya memikirkan profit saja, tapi juga memikirkan lingkungan sekitarnya.
Pelajaran ketiga: Bisnis jangan hanya pikirkan profit, pikirkan juga lingkungan sekitar.


Hari Kedua

Saya bangun jam 5:00, lalu keluar dari hotel untuk jogging pagi. Suasana saat itu masih gelap dan dingin. Tidak ada 1 batang hidung pun yang terlihat di luar gedung hotel. Saya memberanikan diri jogging di pinggir pantai. Setelah lari sampai sebuah dermaga kecil, akhirnya saya melihat 1 orang yang sedang memancing. Lalu saya sapa orang tersebut sambil bertanya ikan apa yang dia pancing. Dia menjawab "Shark". Mungkin saya salah dengar, tapi saya tidak berniat untuk klarifikasi lebih lanjut dan mengucapkan salam kemudian melanjutkan jogging saya kembali ke hotel. Dalam hati saya berpikir ternyata ada juga orang dingin-dingin sendirian mancing ikan hiu di pinggir pantai.

Selesai makan pagi (yang lagi-lagi hanya air putih dan apel), kami langsung membawa koper kami naik bis. Lalu kami dibawa ke Twin Peaks, tempat melihat kota San Fransisco dari ketinggian.
Dalam perjalanan menuju Twin Peaks, kami melewati kawasan Castro, pusat LGBT yang terkenal. Pemandangan 2 lelaki saling bergandengan atau bahkan berpelukan adalah hal yang lazim di sepanjang jalan yang kami lalui. Daerah tersebut juga memasang banyak bendera berwarna pelangi yang menunjukkan eksistensi mereka. 
Walaupun hal ini bertentangan dengan value yang saya pegang, namun saya tidak bisa menyangkal apa yang saya lihat.
Pelajaran keempat: Terima fakta bahwa ada orang yang berbeda dengan Anda.

Selesai berfoto-foto di Twin Peaks, kami kembali menuju ke Golden Gate Bridge (lagi). Kebetulan cuaca cerah, jadi kami bisa memuaskan dahaga kami untuk berfoto dengan latar belakang jembatan yang berwarna merah bata ini. Bukti bahwa kami sudah pernah ke kota San Fransisco.

Pelajaran Kelima: Jangan pernah menyerah sebelum mendapatkan apa yang Anda inginkan.


Dari Golden Gate Bridge kami kembali lagi ke kawawan Fisherman's Wharf, pelabuhan terkenal di San Fransisco. Kami jalan-jalan dan berfoto ria. Lalu makan malam di restoran italia yang Carbonara-nya berasa mie celor khas Palembang. Dengan kuahnya yang encer (bukan creamy seperti yang sering dijumpai di Indonesia), seorang peserta yang mempunyai restoran menyeletuk: "Kalau chef saya masak Carbonara seperti ini, langsung saya pecat dia".
Hampir semua peserta tidak menghabiskan mie italia mereka. Namun saya ludeskan hingga ke kuah-kuahnya. Termasuk roti Sourdough khas San Fransisco-nya.
Pelajaran Keenam: Jangan menilai sesuatu berdasarkan apa yang telah kita ketahui. Coba pahami dan nikmati budaya lokal.

Malamnya kami langsung dibawa ke air port untuk terbang ke New York. Penerbangan kami menggunakan maskapai Alaska airlines yang ternyata adalah airline versi murahnya Virgin airlines yang dimiliki oleh milyader flamboyan: Richard Branson. Karena sudah tahu ini adalah budget airline, maka saya sudah siap-siap botol air kosong yang saya isi (air keran) setelah melewati security check (yang tidak memperbolehkan membawa botol berisi air).
Setelah menunggu selama 1 jam karena penundaan, akhirnya kami terbang selama 5,5 jam. Seperti dugaan saya, sepanjang perjalanan, pramugari yang cantik nan seksi yang mengenakan sepatu berhak tinggi itu sama sekali tidak menyajikan minuman apalagi makanan ke kami. Ibu paruh baya yang duduk di samping saya bertanya ke saya: "Apakah Anda pernah naik pesawat yang tidak memberikan air minum sama sekali?" Saya jawab: "Ini adalah budget airline, jadi mereka memang tidak menyediakan air minum". Karena kasihan dengan dia, saya menawarkan air minum saya dan dia tolak dengan halus.
Pelajaran Ketujuh: Kita sering menjelek-jelekan airlines dalam negeri. Airlines luar negeri juga sama saja. Delay dan tidak dapat makanan dan minuman untuk penerbangan 5,5 jam adalah hal yang biasa.

Hari Ketiga

Dengan perbedaan waktu 3 jam, saat kami mendarat, hari sudah pagi. Dengan mata yang merah, tanpa gosok gigi, apalagi mandi, kami langsung dibawa jalan-jalan menuju pusat kota New York. Karena belum sarapan, kami dibawa ke Food Truck di pinggir jalan yang bernama The Halal Guys. Makanan Turki berupa nasi dan daging sapi.

Sangking enaknya makanan ini, hujan pun orang-orang masih bersedia antri untuk membeli nasi ini.

Saya juga tidak mau ketinggalan. Saya beli yang combo (lagi-lagi lapar mata dan benaran lapar). 

Nasi kuning campur daging sapi dan roti pita dicampur dengan mayones membuat saya makan dengan lahap walaupun harus berdiri dan jongkok di pinggir jalanan New york yang ramai orang hilir mudik. "Yah, nggak apa-apa. Toh tidak ada yang kenal" pikir saya dalam hati.

Karena porsi nasinya yang super banyak (di AS, porsi makanan selalu besar-besar), akhirnya saya menyerah juga. Sisa nasi yang tidak sanggup saya makan lagi harus saya relakan berakhir di tong sampah.

Setelah itu kami langsung menuju ke restoran untuk makan siang. What? Makan siang? Barusan kita makan nasi turki hingga hampir muntah, sekarang dilanjutkan ke makan siang? Tapi apa boleh buat. Jadwal perjalanan masih sangat padat, terima kasih untuk keterlambatan pesawat dengan pramugarinya yang seksi tapi tidak melayani apa-apa, kami harus makan siang dalam kondisi perut hampir pecah.

Dan benar. Sesampainya di restoran, semua peserta hampir tidak menyentuh makanan yang disajikan. Saya mencoba makan sedikit. Tidak bisa dipungkiri, masakannya sungguh enak-enak. Tidak mengejutkan karena restoran tersebut mendapat penghargaan sebagai salah satu restoran terbaik di New York.

Manager-nya sampai heran (dan mungkin juga sedikit tersinggung) melihat masakan yang disajikan sebagian besar masih utuh.

Keluar dari restoran, kami langsung dibawa ke pelabuhan yang akan membawa kami ke Patung Liberty. Patung yang menjadi icon penting bukan cuma untuk kota New York, tapi juga untuk Amerika Serikat.
Rasanya inilah foto paling wajib diambil bila berkunjung ke AS. Jangan bilang sudah pernah ke New York kalau belum foto di bawah patung Liberty.

Selesai puas berfoto ria di patung Liberty, kami diajak makan di restoran Dallas BBQ di dekat Time Square. Sebetulnya tidak ada yang istimewa dengan makanan di restoran ini. Tapi yang pasti, seperti biasa, ukuran porsinya yang jumbo khas AS membuat kami semua terkejut saat disajikan. Sekedar informasi, makanan yang berbentuk persegi di sebelah kanan itu bukan martabak, tapi kue. Kami semua heran, kok makan ayam dan kentang goreng dicampur dengan kue ya?


Selesai makan, kami dikasih waktu bebas untuk jalan-jalan di sekitar Times square. Sebuah tempat
yang penuh dengan manusia-manusia hilir mudik entah ke mana, serta gedung-gedung berlapis monitor LCD high definition yang memutar iklan tanpa henti. Yang menariknya adalah, ada sebuah panggung yang mirip dengan kursi stadion bola yang penuh dengan orang yang duduk di situ. Saya mengira mereka sedang menonton sesuatu. Karena penasaran, saya ikut naik dan ingin melihat apa yang sedang mereka tonton. Setelah susah payah mencari tempat yang kosong, akhirnya saya berhasil duduk dan mendapati tidak ada tontonan yang bisa dilihat selain lautan manusia (saja). Saya heran. Hari itu adalah Senin malam dan mereka hanya nongkrong duduk dan tidak melakukan apa pun. Ngapain ya mereka?

Sesampai di hotel, saat saya sedang menulis jurnal harian saya, saya baru sadar, hari ini saya tidak melakukan semua rutinitas pagi saya.
Pelajaran Kedelapan: Hati-hati dengan kesibukan, dia bisa menyebabkan Anda lupa dengan kebiasaan Anda.

Hari Keempat

Saya bangun dengan malas dan saat mau olah raga, otak saya mulai berdalih: "Kan semalam kamu tidur di pesawat dan kurang tidur. Jadi boleh dong hari ini kamu tidur lebih banyak dan tidak perlu olah raga?". Otak saya yang lain bicara lagi: "He, nggak boleh seperti itu. Kemarin kamu sudah tidak olah raga, hari ini kamu harus olah raga". Percakapan seperti itu hilir mudik beberapa kali sampai saya teringat kata filsuf terkenal, Michael Jordan: "Just Do It". Saya langsung berdiri dan olah raga di kamar hotel di depan room mate saya yang masih tidur. Setelah itu saya sudah merasa seperti pemenang yang berhasil memenangkan sebuah pertempuran hebat di kepala saya.

Jadwal hari ini setelah sarapan adalah ke Empire State building, gedung tertinggi nomor 28 di dunia. Gedung ini terkenal karena ada King-kong yang manjat di atasnya. 
Sesampai di atas, pemandangannya sebetulnya biasa saja. Melihat kota New York dari atas. Mengingatkan saya saat berada di puncak Monas. Ya, bedanya kali ini di New York gitu lho...
Selesai dari Empire State Building, kami makan siang, lalu sebentar menyempatkan mampir di tempat bekas menara kembar WTC yang hancur ditabrak pesawat yang dikemudikan oleh teroris. Saat ini tempat itu disebut dengan "Ground Zero" dan dijadikan monumen untuk mengingat para korban yang meninggal akibat insiden tersebut.

Setelah berfoto-foto sejenak, kami buru-buru berangkat ke bandara JFK untuk terbang ke Las Vegas. Kali ini kami naik maskapai American Airlines. Ada sedikit insiden. Ternyata koper kabin kami tidak boleh dibawa masuk ke kabin. Harus masuk bagasi dan kena charge $35 per koper. Saya tanya ke Ibu Marina selaku Organizer tour ini. Beliau mengatakan bahwa saat booking peraturan itu belum ada. Jadi ini adalah peraturan baru yang langsung berlaku walaupun untuk penumpang yang sudah booking lama. Yang mengesankannya adalah pihak Tour menelan biaya itu sendiri, bukannya membebankan ke para peserta.

Ada 2 pihak yang sangat kontras sekali, pihak Marina Tour lebih mementingkan nama baik dan kepuasan pelanggan, sedangkan sebaliknya pihak American Airlines mementingkan keuntungan dan mengabaikan nama baik dan kepuasan pelanggan. Saya sendiri tidak akan pernah lagi naik American Airlines.

Pelajaran Kesembilan: Nama baik lebih berharga dibandingkan uang.

Hari keempat belum selesai sampai di sini. Pesawat kami delay hingga 2,5 jam dan kami harus tiba di hotel Las Vegas jam 2 subuh dan tidur jam 3 (tanpa mandi).

Hari Kelima

Saya menyerah. Bangun tidur jam 7 dengan kepala pusing karena kurang tidur sehingga saya memutuskan saya hanya Jumping Jack saja. Setelah itu kami sarapan di hotel dengan menu buffet all you can eat. Kali ini saya menyerah (lagi). Saya makan bukan cuma buah saja, tapi roti, daging, manisan dan semua yang terlihat enak di restoran itu. Setelah (terlalu) kenyang baru saya menyesal mengapa saya makan segitu banyak di pagi hari.

Setelah sarapan kami dibawa ke Grand Canyon untuk melihat jurang. Ya, Grand Canyon sebetulnya cuma jurang yang besar. Tapi yang membuat tempat ini menarik selain jurangnya adalah jalanan menuju ke tempat itu besar, mulus dan lancar. Padahal sepanjang perjalanan selama 2,5 jam hanya dihiasi dengan padang gurun dengan semak-semak kering di sana-sini.
Indonesia sebetulnya tidak kekurangan jurang (dan gunung). Kita punya banyak tempat seperti ini. Yang berbeda adalah aksesnya yang belum bagus. Hal ini mengingatkan saya tahun lalu ke Banyuwangi. Ada banyak obyek wisata yang sudah dipromosikan dengan susah payah tidak dapat saya kunjungi karena macet di tengah jalan karena terlalu banyak orang yang mau masuk.

Pelajaran Kesepuluh: Kalau mau berhasil, harus berani investasi.

Hari Keenam

Kali ini kondisi tubuh sudah mulai stabil. Olah raga dan rutinitas lainnya sudah bisa berjalan kembali. Juga sarapan sudah bisa mengendalikan diri dengan hanya makan buah di tengah makanan-makanan enak.
Setelah itu kami menuju Premium Factory Outlet, sebuah pertokoan di tengah gurun. Para ibu-ibu dari rombongan kami langsung kalap menyerbu toko-toko merek terkenal karena ada banyak diskon yang ditawarkan. Kebetulan saya menemani seorang ibu yang sedang mencari produk-produk tertentu. Saat ditunjukan foto produk yang dicari ke penjaga toko, disampaikan bahwa barang tersebut tidak ada karena keluaran terbaru. Dengan kata lain barang-barang yang dijual di toko tersebut adalah model lama.
Walaupun rombongan kami tahu hal itu, tapi penjelasannya adalah: "Gak apa-apa model lama. Toh model lama di AS masih tetap model baru di Indo".
Sangking kalapnya, ada yang beli dompet merek tertentu sejumlah 4 hingga 6 buah. Saya tanya, "Emangnya butuh segitu banyak?" dan dijawab dengan "Nggak, ini untuk oleh-oleh buat keponakan saya". O, begitu.... saya paham.

Pelajaran Kesebelas: Saat emosi sudah dimenangkan, logika akan lumpuh.

Hari Ketujuh

Kami check out dari hotel dan sarapan (lagi-lagi) all you can eat dan saya (lagi-lagi) hanya makan buah saja. Yeay!!
Destinasi berikutnya adalah Los Angeles yang akan ditempuh selama 7 jam naik bis. Di tengah perjalanan, kami akan mampir di Cabazon Factory Outlet untuk (lagi-lagi) shopping.
Kondisi Cabazon yang sama panasnya dengan di Las Vegas (suhu 43 derajat Celcius) tidak menyurutkan semangat para ibu-ibu untuk berbelanja.
Di sini saya harus berpisah dengan rombongan karena dijemput oleh keluarga.

Pelajaran Keduabelas: Saat emosi sudah dimenangkan, perasaan akan mati.

Hari Kedelapan

Rutinitas pagi saya sudah teratur dilakukan. Tetapi sarapan pagi dilewati karena akan brunch dengan keluarga. Saya berpisah dengan rombongan. Mereka menuju ke Universal Studio dan saya diajak jalan-jalan ke LACMA (Los Angeles County Museum of Art).

Ada banyak hal menarik yang saya amati di LACMA.
Harga tiket masuk:
  1. Gratis bagi anak di bawah usia 17 tahun. Jadi mereka mendorong anak-anak muda mau masuk ke musium.
  2. Diskon untuk penduduk Los Angeles County (County adalah pemerintah tingkat 2 seperti Kabupaten/Kota). Mereka memberikan hak khusus untuk penduduk kota LA.
Dengan harga tiket yang relatif tidak murah ($20/orang), saya melihat ada banyak orang antri untuk beli tiket. Kondisi ini berbanding terbalik dengan  Indonesia, musium adalah tempat wisata terakhir yang akan dikunjungi oleh pelancong.

Setelah masuk, saya menjumpai ada banyak lukisan unik dari jaman abad 17 hingga abad 20. Ada lukisan yang dengan mudah dicerna dan dipahami. Tapi ada juga lukisan yang harus ditatap beberapa saat agar bisa tahu apa yang sedang dilukis.
Coba tebak, gambar di samping ini lukisan tentang apa?


Selesai dari musium, kami makan malam lalu langsung di antar ke bandara Tom Bradley.
Keluar dari AS lebih mudah daripada masuk. Jadi kami tidak menemui kendala yang berarti.

Tiba di Indonesia

Setelah menempuh penerbangan selama 23 jam dengan maskapai penerbangan Eva Air, transit di kota Taipei selama 3 jam, plus makan 3 kali dan nonton film entah berapa banyak, akhirnya kami tiba di bandara Soekarno-Hatta.

Merasakan suhu udara yang sekitar 31 derajat celcius, saya sudah jatuh cinta lagi dengan Indonesia. 
Lalu melewati imigrasi yang hanya beberapa detik saja membuat saya lebih jatuh cinta lagi. Apalagi melihat antrian WN asing di imigrasi, meneguhkan saya Indonesia adalah rumahku.

Namun cerita saya belum selesai. Ada 1 lagi tantangan, yaitu Bea Cukai. Pada Form Deklarasi, tertulis: "Membawa barang untuk pemakaian sendiri dengan nilai lebih dari $250". Diisi dengan Ya atau Tidak? Semua anggota rombongan mengisi Tidak. Tapi saya sudah hitung. Semua barang belanjaan dan titipan yang saya bawa nilainya $573. Kalau saya jawab tidak, tentunya saya sudah berbohong. 
Teman saya bilang, "Nggak apa-apa. Semua orang melakukan hal yang sama kok". Saya sudah mencawang kolom "Tidak". Namun hati nurani saya tidak tenang. Akhirnya saya coret dan ganti dengan "Ya". Saya sudah hitung di otak saya berapa pajak & bea yang harus saya bayar. Ya, kira-kira Rp. 600 ribu lah. Saya siap bayar.

Saat keluar, saya mencari jalur merah. Tapi sudah tidak ada. Lalu saya menghampiri seorang petugas dengan kaos biru bertulisan Bea Cukai. Saya tanya, "Pak, kalau saya membawa barang yang nilainya lebih dari $250, harus lewat mana?". Petugasnya agak bingung, kok tumben ada yang sukarela melakukan deklarasi. Dia tanya, 
Petugas (P): "Mana daftar barangnya?"
Saya tunjukkan daftar yang sudah saya tulis di form deklarasi.
P: "nilainya lebih dari $500 nggak?"
Agung (A): "sekitar 500-an"
P: Ya sudah, kita coba scan saja dulu ya
A: Saya dengar dari teman limitnya sekarang $500 ya Pak?
P: Ya, benar. Itu form lama. Sekarang batasannya adalah $500 dan saya lihat barang yang Bapak bawa sebagian adalah makanan yang akan dimakan habis, bukan untuk dijual lagi.

Lalu saya scan koper saya. Petugasnya bilang cukup 1 saja. Lalu kasih kode dengan anggukan kepala yang berarti koper saya boleh dibawa pergi tanpa perlu periksa.

Ah, leganya. Saya tidak perlu bayar pajak & tetap mempertahankan integritas saya.

Welcome back to Jakarta.

Demikianlah cerita saya selama di negeri Paman Sam. Semoga bermanfaat.

15 Maret 2018

Mengurus Balik Nama Mobil

Akhir Maret 2018, STNK mobil saya sudah perlu diperpanjang. Saya manfaatkan kesempatan ini untuk sekalian ganti nama mobil yang memang sudah saya beli.

Awalnya saya mau urus ke biro jasa saja. Saya bawa ke Biro Jasa Wijaya. Semuanya lancar sampai saat mereka akan menggesek nomor mesin mobil saya. Ternyata petugasnya kesulitan mencari nomor mesin ini. Setelah cari di youtube, akhirnya mereka mendapatkan lokasinya. Namun setelah dicoba digesek, nomornya tidak muncul dengan jelas.

Akhirnya mereka menyerah dan meminta saya untuk membawa mobil saya ke Samsat untuk melakukan uji fisik. Saya pikir: Tujuan saya pakai biro jasa adalah biar nggak repot. Tapi kalau sendiri yang harus ke Samsat, lebih baik sekalian urus sendiri saja semuanya.

Setelah dokumen diminta kembali, saya pelajari proses balik nama dari sebuah artikel. Hari Sabtu tanggal 10 Maret 2018 jam 7:00 saya mendatangi Samsat Jakarta Barat di Jalan Daan Mogot. Setiba di situ, berdasarkan informasi yang saya pelajari, saya langsung mencari bagian uji fisik. Di situ sudah terdapat beberapa mobil yang mengantri.

Saat saya tanya ke petugas, disampaikan bahwa saya cukup antri saja. Tapi saat saya duduk tenang di mobil, terlihat ada antrian orang di sebuah loket. Lalu saya turun dan tanya orang. Saya baru tahu ternyata mereka antri untuk mendapatkan form dan stiker untuk gesek mobil. Saya pun ikut antri dan dapatkan formnya juga.

Saat giliran mobil saya, asumsi saya akan berjalan lancar karena petugas pasti sudah pernah menangani mobil sejenis. Masak sih dia baru pertama kali pegang mobil Spin? Dugaan saya keliru. Petugas uji fisik juga mendapatkan hasil yang sama dengan orang biro jasa, terlalu halus.

Akhirnya mobil saya diminta untuk keluar dari antrian lalu disuruh tunggu. Petugasnya mondar-mandir tanya ke (dugaan saya) supervisornya. Setelah menunggu sekitar 30 menit, supervisornya datang dan membantu mencarikan nomor mesinnya. Ternyata yang tadinya kami duga adalah nomor mesin adalah salah. Ada nomor lain yang lebih menonjol. Sekarang nomor mesin sudah didapatkan.

Lanjut ke proses berikutnya, petugas mengarahkan saya untuk parkir mobil lalu kasih dokumen ke loket 2. Saya parkir dan ke loket 2. Petugas loket 2 suruh saya ke loket 1. Petugas loket 1 suruh saya isi dulu form-nya dengan lengkap. Saat form sudah hampir selesai saya isi, orang di sebelah saya tiba-tiba bilang: Form itu nggak perlu diisi. Oya? Begitu ya? Tapi karena sudah tanggung, saya lanjutkan, lalu saya kembalikan. Kali ini ke loket 3.

Saya diminta untuk tunggu lagi. Saat saya duduk, orang yang tadi kembali bertanya: Form-nya sudah diisi belum? Form? Form apa? Tanya saya. Dia tunjukkan sebuah form berwarna putih. Saya bilang saya tidak ada form itu. Dia suruh saya ke tempat foto copy. Foto copy saja semua dokumen yang diperlukan. Nanti dia akan kasih form yang sudah terisi. Lalu saya bergegas ke tempat fotocopy. Walaupun semua dokumen sudah saya copy, tetap saya copy ulang. Petugas fotocopy dengan sigap meng-kopi semua dokumen yang diperlukan, diurutkan dan distaples. Terus saya tanya: Formulirnya nggak dikasih? Dia bilang: Untuk balik nama nanti akan dikasih di lantai 3. Kalau isi sekarang percuma. O, begitu kataku.

Tidak lama kemudian, nama pemilik mobil yang lama dipanggil. Saya langsung ambil dokumen dan diarahkan menuju ke lantai 3. Di lantai 3, saya dikasih form untuk diisi. Selesai diisi, saya kembalikan ke petugas lengkap dengan dokumen-dokumen yang diperlukan. Tidak lama kemudian nama saya dipanggil, dokumen yang sekarang sudah di dalam map putih dikembalikan dan diminta ke lantai 4.

Naik ke lantai 4, saya sempat bingung harus mencari ke loket mana. Setelah bertanya ke petugas yang ada, saya serahkan dokumen saya ke loket yang ditunjuk. Sampai di sini saya belum mengeluar uang 1 sen pun. Tetapi saat nama saya dipanggil, saya diminta sepuluh ribu tanpa resi. Setelah saya bayar, dokumen dikembalikan lalu diminta kembali ke lantai 3 dan disuruh tunggu sampai beres.

Sampai beres? Berarti dalam 1 hari bisa selesai dong? Benar saja. Setelah saya kembalikan dokumen ke lantai 3, tidak lama kemudian saya dipanggil dan dikasih resi untuk bayar ke loket Bank DKI. Setelah bayar, STNK saya keluar dalam hitungan menit. Saat STNK diserahkan, petugas bilang, setelah ini saya perlu ke Polda untuk mengurus ganti nama BPKB. Beliau menawarkan kalau mau bisa dia bantu. Saya tanya berapa, dia bilang lima ratus ribu. Saya ucapkan terima kasih atas informasinya, bukan karena harganya, tapi menurut saya sudah tanggung.

Waktu sudah menunjukkan pukul 11:30. Sudah terlalu siang untuk ke Polda. Akhirnya saya putuskan Sabtu depan saja. Tapi ternyata Sabtu tanggal 17 Maret 2018 adalah hari libur nasional. Jadi terpaksa saya jadwalkan di hari Jumat pagi.

Jumat pukul 7:00 saya sudah tiba di Polda Metro Jaya di Jl. Jendral Sudirman. Saat saya mau masuk ke gedung Samsat saya cukup senang karena masih sepi. Tapi petugas mengarahkan saya untuk ruang tunggu. Saat saya membalikkan badan saya, jeng-jeng..., terlihat sekitar 50-an orang sudah duduk menunggu. Wah, ternyata saya tidak sepagi yang saya duga.

Setengah jam kemudian datang petugas memberikan instruksi. Yang mengurus sendiri, silakan masuk dulu. Wah, senangnya mendapat prioritas. Saat masuk, saya diberikan sebuah kartu RF ID. Ternyata kartu ini adalah kunci untuk semua proses. Dengan kartu ini form pendaftaran bisa dicetak, lalu cetak resi bank, juga saat penyerahan dokumen. Sampai di sini semuanya berjalan dengan lancar. Setelah menerima resi, saya diminta menunggu di lantai 2.

Petugas lantai 2 meminta saya untuk duduk dan menunggu sekitar 1 jam-an. Sekitar jam 9:30, nama saya dipanggil dengan BPKB yang sudah atas nama saya. Duh, senangnya.

Kesimpulan: Proses balik nama kendaraan bermotor sudah sangat baik. Waktu yang diperlukan relatif singkat (3,5 + 2,5 = 6 jam). Hampir tidak ada pungli. Namun tentu saja masih ada banyak ruang untuk perbaikan. Saya angkat topi untuk mengapresiasi pihak kepolisian dan pemda DKI yang sudah memperbaiki sistem ini.

Dari sisi bisnis, ada banyak yang bisa kita pelajari. Proses yang sudah hampir semuanya terkomputerisasi membuktikan bahwa sistem IT bisa mempercepat proses.

Demikian kisah saya. Semoga bermanfaat.