18 Oktober 2013

Cara Meningkatkan Daya Saing Industri Manufaktur Indonesia

Sebagai penyedia software akuntansi untuk pebisnis Indonesia, saya sering menghadapi situasi di sebuah perusahaan manufaktur yang ingin mencatat biaya produksi. Tujuan mereka mencatat biaya produksi adalah untuk mengetahui Harga Pokok Produksi (HPP). Pada akhirnya bila produk tersebut dijual, akan timbul Harga Pokok Penjualan (HPP).

Bagi Anda yang pernah kuliah di jurusan Akuntansi dan mengambil mata kuliah Cost Accounting di Intermediate 1, tentunya Anda akan diajarkan bahwa HPP atau bahasa Inggris-nya adalah Cost Of Goods Manufactured (COGM) terdiri dari:

  1. Cost dari bahan baku (Raw Material)
  2. Biaya langsung / Direct cost / Direct Labor
  3. Overhead pabrik (Factory/Manufacturing Overhead atau FOH/MOH).
Maka akan didapatlah HPP.

Apakah ada yang salah dengan rumus di atas? Tidak ada yang salah bila digunakan pada situasi yang tepat. Namun bila disalah gunakan, maka akan berakibat menurunnya daya saing produk Anda dipasaran.

Mari saya jelaskan.

Teori cost accounting di atas ditemukan pada zaman revolusi industri di abad ke-18. Pada zaman itu, kebanyakan produksi dikerjakan oleh manusia. Kalau pun ada mesin, masih sebatas mesin manual yang harganya relatif murah. Pada zaman itu, biaya tenaga kerja dihitung berdasarkan hasil pekerjaan. 
Jadi kondisi saat itu adalah:
  1. Biaya tenaga kerja dihitung berdasarkan hasil produksi (Variable Cost). Bila produksi naik, maka biaya tenaga kerja ikut naik. Bila produksi turun, biaya tenaga kerja ikut turun.
  2. Overhead pabrik juga relatif kecil. Harga mesin relatif murah sehingga nilai depresiasi yang dibebankan relatif kecil.
Mari kita lihat zaman sekarang, terutama kondisi di Indonesia.
Gaji buruh pabrik sudah sangat jarang dihitung berdasarkan hasil produksi. Boro-boro hitung berdasarkan hasil produksi. Saat tulisan ini ditulis, para buruh masih sering demo untuk menuntut kenaikan UMP.
Bila buruh digaji tetap, apakah ada pengaruh bila produksi sedang rendah atau tinggi? Tidak ada. Mau produksi rendah, mau produksi tinggi, gaji buruh tetap sama. Bahkan bila tidak produksi sekalipun, gaji bulanan tetap harus dibayar (bila tidak ingin di-demo).

Bagaimana dengan overhead pabrik? Overhead pabrik biasanya terdiri dari biaya depresiasi mesin, biaya listrik dan utilitas lainnya, bahkan ada yang memasukkan gaji direktur ke dalam overhead pabrik.
Kondisinya sama dengan gaji buruh. Bila produksi sedang rendah, apakah depresiasi mesin dan gaji direksi akan berkurang? Jawabannya adalah tentu saja tidak.

Pada prakteknya, ada 2 cara yang biasa dilakukan oleh divisi accounting untuk membebankan biaya gaji & overhead:
  1. Total gaji & overhead per bulan dibagi dengan hasil produksi dan dibebankan secara proposional.
  2. Berdasarkan angka tahun lalu, dihitung standard overhead per output produksi. Sehingga setiap hasil produksi akan dibebankan dengan overhead yang standard.
Kedua cara di atas mempunyai efek samping yang negatif, yaitu:
  1. Cara pertama akan menjadi kontra produktif bila produksi sedang rendah. Pada saat itu biaya gaji dan overhead tetap sama sehingga total biaya tersebut akan dibagi dengan angka yang kecil yang menghasilkan cost per produk menjadi bengkak.
  2. Untuk cara kedua, malah sebaliknya. Saat produksi sedang tinggi, maka beban overhead akan menjadi lebih tinggi dibandingkan biaya actual. Hal ini akan menyebabkan angka biaya di laporan laba rugi menjadi negatif. Hal ini akan menyebabkan Anda salah menganalisa biaya.
Lalu apa yang harus dilakukan?

Kita hanya perlu mencatat biaya yang variable saja. Artinya: saat produksi naik, biaya akan naik. Saat produksi rendah, biaya ikut turun. Yang tidak termasuk biaya variable, jangan dibebankan ke HPP.
Yang termasuk biaya variable adalah:
  1. Biaya Raw Material/Bahan baku.
  2. Biaya gaji yang dihitung berdasarkan hasil produksi (ongkos kerja, dll).
Apa manfaat menghitung HPP seperti cara di atas?
  1. Daya saing produk Anda akan meningkat. Bila tadinya Anda menghitung dengan pembebanan overhead HPP Anda adalah 10 ribu, maka Anda tidak mungkin bisa menjual di bawah harga 10 ribu. Tapi bila Anda hanya menghitung Raw material saja, maka kemungkinan HPP Anda hanya 5 ribu sehingga anda bisa  menjual dengan harga 7 ribu.
  2. Sistem Akuntansi Anda juga menjadi sangat sederhana. Sederhana berarti mudah untuk dilacak dan dilaporkan serta lebih cepat.
Pada saat ide ini dilontarkan, umumnya respon yang saya terima adalah: Mana boleh hitung HPP seperti itu. Kan rugi? Mesin sudah dibayar mahal-mahal kok tidak dibebankan ke hasil produksi?
Pertanyaan saya kepada orang tersebut adalah: Setelah mesin itu dibeli, apakah biaya depresiasinya akan turun bila produksinya meningkat/menurun? Jawabannya adalah TIDAK. Begitu pula dengan gaji dan biaya lainnya.

Sebagai contoh: Saya pernah mengetahui sebuah pabrik yang baru membeli mesin seharga Rp. 50 Milyard. Fungsi mesin tersebut adalah untuk membungkus produknya dengan lebih cepat. Metode depresiasi yang digunakan adalah double declining (dengan alasan agar bisa mengurangi pajak). Bayangkan! Berarti biaya pada tahun pertama yang akan dibebankan ke HPP adalah Rp. 25 milyar. Anggap saja hasil produksinya sekitar 100 juta buah per tahun, maka HPP masing-masing produknya akan bertambah sebesar 250 rupiah. Hal ini akan menyebabkan produk tersebut tidak bisa lagi dijual dengan harga lama dan harus dinaikkan paling tidak Rp. 250.

Bukankah cara ini menjadi kontra produktif? Membeli mesin bukankah tujuannya agar produksi bisa lebih efisien dan ujung-ujungnya menurunkan biaya produksi dan meningkatkan daya saing? Lalu kenapa sekarang malah membeli mesin baru membuat HPP tambah mahal?

Negara China sudah lama menggunakan metode perhitungan HPP hanya dari raw material. Mesin produksi mereka canggih-canggih, sehingga produktifitasnya sangat tinggi. Walaupun mesinnya canggih dan mahal, namun harga jual produk mereka tetap ditekan murah. Itu sebabnya produk dari negeri tirai bambu ini murah-murah dan di-import ke mana-mana.

Nah, kembali ke Anda lagi. Bila Anda adalah pengusaha yang memiliki pabrik, coba cek lagi cara Anda menghitung HPP. Jangan-jangan, daya saing produk Anda rendah hanya disebabkan cara menghitung HPP-nya yang kurang mengikuti perkembangan jaman.

Demikian tulisan dari saya. Semoga bermanfaat.

04 Oktober 2013

Mencegah Kebocoran di Perusahaan Distribusi

Saya mempunyai banyak cerita bagaimana sebuah perusahaan distribusi mengalami kerugian dari puluhan juta hingga milyardan akibat kecurangan yang dilakukan oleh karyawan internal mereka.

Beberapa modus operandi yang pernah saya jumpai, antara lain:

  1. Buku bank masih dicatat secara manual. Akibatnya adalah: saat terjadi collection, admin harus mencatat 2 kali: 1 di buku manual, 1 lagi di sistem (kebetulan mereka pakai FINA). Apa yang terjadi adalah: si Admin yang tidak jujur ini saat menerima uang dari customer, misalkan: 5, 5 juta, dia akan mencatat di FINA 5,5 juta. Namun di buku manualnya akan dicatat 5 juta saja. Uang 500 ribu-nya dimasukkan ke kantong sendiri. Secara sistem, piutangnya sudah lunas. Namun karena Buku Bank di FINA tidak pernah dicocokkan dengan saldo bank, maka kecurangan ini terlambat dideteksi.
  2. Kasus yang lain yang pernah saya temui adalah: setting level harga di master pelanggan ada yang belum diisi. Hal ini mengakibatkan harga jual di Sales Order (SO) muncul dengan harga 0. Hal ini menyebabkan Faktur penjualannya tidak menambah piutang, namun akan memotong stok dengan benar. Dengan bekerja sama dengan salesman, maka barang ini dijual tanpa dilaporkan ke perusahaan. Secara stok dan piutang selalu akan cocok. Hal ini berjalan cukup lama sampai sang owner memeriksa laba kotor per produk. Diketahui bahwa ada beberapa produk yang laba kotornya negatif alias merugi. 
  3. Kasus terakhir yang saya dengar adalah sebuah perusahaan distributor minuman mengalami kerugian milyardan ditipu karyawannya karena bagian operasionalnya masih menggunakan sistem manual sedangkan bagian accounting-nya menggunakan software Accurate. Karena bagian operasional tidak terintegrasi dengan bagian accounting, maka admin dengan mudah memanipulasi laporan yang diteruskan ke bagian accounting sehingga saat barang dijual di bawah tangan, transaksi tersebut tidak tercatat di sistem.
Masih ada banyak lagi cerita yang bisa disampaikan. Ini adalah realita yang harus dihadapi oleh sebuah perusahaan distribusi. Bagi perusahaan distribusi yang mengandalkan volume yang besar namun margin kecil, kebocoran-kebocoran seperti ini sangat merugikan sekali.

Lalu apa solusinya? 

Mari kita lihat celah apa saja yang bisa dimanfaatkan oleh karyawan untuk menipu perusahaannya berikut solusi yang bisa dilakukan. 
  1. Harga jual dimainkan. Kalau barang A dijual 1000, admin akan buat dulu dengan angka 1000. Setelah dicetak, dia akan edit lagi diganti dengan harga yang lebih kecil, atau dibuat faktur fiktif. Celah ini bisa ditutup dengan cara menggunakan sistem yang bisa mencegah admin mengganti harga jual dan mengedit transaksi yang sudah masuk. Jumlah pencetakan faktur juga harus dibatasi.
  2. Data pelanggan tidak diisi dengan lengkap atau diisi dengan salah sehingga harga jualnya keliru. Solusinya adalah: Gunakan pengecekan field-field tertentu harus ada isinya. Bila tidak diisi, data pelanggan tidak boleh disimpan. Lakukan otorisasi untuk semau pelanggan yang baru diinput ke dalam sistem.
  3. Stok dijual namun tidak dilaporkan. Celah ini bisa ditutup dengan cara secara rutin melakukan stock opname. Umumnya perusahaan distribusi mengeluhkan bahwa sulit untuk melakukan stock opname karena barang mereka banyak sekali. Ada perusahaan distribusi oli terkemuka di Indonesia yang membagikan tips menghadapi tantangan tersebut. Mereka melakukan Stock opname setiap hari. Ya, betul. Setiap hari. Tapi setiap hari mereka hanya menghitung 5 item saja. Jadi tidak akan memakan waktu yang lama. Keesokan harinya akan stock opname lagi untuk 5 item yang berbeda. Tentu saja stock opname akan efektif mencegah kehilangan barang bila Anda mempunyai pencatatan stok yang realtime yang bisa dijadikan sebagai acuan/pembanding.
  4. Piutang yang sudah berhasil di-collect, namun tidak dilaporkan. Mereka bisa memalsukan faktur asli untuk diserahkan ke pelanggan sehingga bagian keuangan tetap menyimpan faktur aslinya. Cara seperti ini membutuhkan bagian finance secara rutin menghubungi (baca: menagih) pelanggan yang mempunyai umur piutang yang sudah jatuh tempo. Untuk bisa mengetahui umur piutang, lagi-lagi Anda membutuhkan sistem yang bisa melaporkan umur piutang Anda secara real time. Bila ada piutang yang sudah jatuh tempo namun belum dibayar, Finance Anda sudah diwajibkan untuk menagih ke outlet tersebut.
  5. Order palsu. Outlet tidak pernah order item tersebut, namun salesman membuat order ke outlet tersebut. Realitanya, order dijual oleh salesman ke tempat lain. Cari ini juga bisa dengan mudah ditangkap dengan poin 3 di atas. Bentuk tim penagih yang tugasnya hanya menghubungi outlet yang piutangnya sudah jatuh tempo. Bila outlet tersebut tidak pernah order, maka kasus ini akan ketahuan saat ditagih.
  6. Membuat faktur palsu. Kasus ini sama seperti poin 2. Selain rutin melakukan stock opname, Anda juga bisa mencetak Faktur dari sistem. Bila nota penjualan masih dibuat secara manual tulis tangan, tentu akan sangat mudah bagi salesman untuk memalsukan nota penjualan.
  7. Piutang sudah dilunasi di sistem, namun uang tidak disetor. Kalau yang ini mudah sekali ketahuannya. Selalu lakukan bank reconcile setiap hari. Jadi saldo bank harus selalu cocok dengan saldo di sistem. Bila tidak cocok, berarti transaksi belum diisi atau ada manipulasi yang terjadi.

Mungkin masih ada banyak lagi celah yang bisa dimanfaatkan. Namun untuk mempersempit peluang untuk melakukan kecurangan di perusahaan distribusi, berikut tips yang bisa saya berikan:
  1. Miliki software operasional yang terintegrasi dengan accounting. Mulai dari order masuk, pembuatan surat jalan, faktur, penagihan, stok hingga ke accounting. Untuk bisa melakukan itu semua di 1 software, tentu saja Anda harus memilih software yang memang dirancang untuk perusahaan distribusi dan terintegrasi secara realtime dengan accounting.
  2. Secara rutin, bahkan setiap hari, mempunyai check list/laporan harian yang selalu dipantau. Laporan yang harus rutin dicek adalah:
    1. Penjualan 
    2. Stok
    3. Bank
    4. Piutang
  3. Gunakan karyawan yang jujur. Dari pengalaman saya, kejujuran tidak memandang ras, agama, suku atau gender tertentu. Sistem sebaik apa pun, bila yang menjalankan sistem itu sudah tidak beritikad baik, pasti akan ditemukan celah yang bisa dimanfaatkan.
  4. Miliki SOP yang jelas. Termasuk di dalamnya reward dan punishment yang jelas dan tegas. Kalau di perusahaan saya, siapa pun yang melakukan korupsi, sekecil apa pun, siapa pun dia, pasti akan dipecat.
  5. Miliki value perusahaan yang jelas yang selalu dipegang dan dijalani oleh setiap karyawan dan direksi, terutama value tentang kejujuran. Akan sulit bagi Anda sebagai pemilik perusahaan untuk meminta karyawan Anda untuk jujur namun Anda sendiri tidak jujur. Anda harus jujur dalam, misalkan, membayar pajak. Anda juga harus jujur kepada karyawan Anda sehingga mereka mempunyai contoh yang bisa mereka teladani.

Demikian sharing saya. Semoga bermanfaat bagi Anda pemilik perusahaan distribusi.