20 September 2013

Pandai Menjual Namun Tidak Pandai Mencatat

Suatu hari saya sedang berbicara dengan seorang yang bernama Ong Peng Tsin, seorang Venture Capital dari Singapura. Setelah saya memperkenalkan diri dan menyatakan bahwa saya mengembangkan software akuntansi, terlihat bahwa dia tidak terlalu tertarik dengan industri ini.

Saya sampaikan bahwa saya pernah melakukan survei secara acak, masih ada 80% bisnis di Indonesia yang belum menggunakan software akuntansi. Saya bahkan mengatakan pernah berjumpa dengan sebuah perusahaan publik yang masih menggunakan Spreadsheet sebagai alat untuk membuat laporan keuangan. Dia hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.

Yah, memang. Software akuntansi memang masih disepelekan oleh pebisnis Indonesia. Minggu lalu saya diundang oleh salah satu dari customer kami yang sudah 4 tahun menggunakan FINA Accounting Software. Dia mengeluhkan bahwa FINA tidak bisa mengeluarkan laporan Aging piutang, cashflow dan banyak report lainnya. Oleh karena FINA tidak bisa, maka staff accounting-nya terpaksa harus menyiapkan report itu secara manual.

Saya agak heran karena semua laporan yang beliau sebut sudah ada di FINA. Lalu mengapa mereka tidak bisa siapkan dari FINA? Selidik punya selidik, ternyata ada salah penggunaan dari user lama sehingga ada data yang tidak ter-settle dengan baik. Ada juga staff yang seharusnya membuat Faktur Penjualan dari FINA, tapi ditumpuk selama 1 minggu baru di-input.

Saat saya menggali ke staff bagian invoicing-nya, Owner perusahaan itu juga terkejut menyadari bahwa Faktur Penjualannya diinput 1 minggu sekali. Saya jadi heran. Kok bisa faktur tidak diisi ke sistem tidak diketahui oleh Owner? Saat saya tanya apakah Owner tersebut ada membuka FINA untuk mengecek laporannya? Beliau mengakui sudah lama tidak buka FINA. Harusnya bila dia secara rutin cek ke FINA, pasti dia akan mendapati bahwa Faktur penjualan selalu terlambat di-input ke dalam sistem.

Perilaku tidak perduli dengan laporan keuangan perusahaan yang kita lihat di atas bukanlah sesuatu yang aneh. Pebisnis Indonesia memang jago mencari uang, namun tidak jago mencatat. Satu-satunya catatan yang selalu menjadi andalan masih buku bank. Selagi bank masih ada uang, berarti bisnis masih cuan. Bila kita tidak mencatat dengan benar, dari mana kita bisa tahu omzet bisnis kita?

Satu lagi alasan klasik mengapa pengusaha Indonesia tidak suka dengan laporan keuangan yang bagus, yaitu mengenai perpajakan. Masih ada klise yang mereka pegang: "Tidak perlu bayar pajak yang benar karena toh nanti saat diperiksa tetap harus bayar lagi". Saya tidak percaya mengenai hal ini. Terakhir Imamatek diperiksa adalah untuk tahun fiscal 2010. Saat itu saya bertanya kepada si pemeriksa apakah dia pernah menjumpai wajib pajak yang tidak didapati temuan saat diperiksa? Dia menjawab "Pernah". Ada 1 perusahaan yang pernah dia periksa, karena sangking rapi pencatatannya, dia tidak menemukan 1 temuan pun. Hal ini membuktikan pencatatan akuntansi yang rapi justru akan mempermudah pemeriksa pajak membuktikan bahwa Anda benar.

Berapa lama lagi para pengusaha Indonesia acuh dengan laporan keuangan? Semakin cepat mereka sadar pentingnya memiliki laporan keuangan yang benar, semakin cepat mereka bisa membuat keputusan strategis, semakin cepat juga bisnis mereka bisa maju. Jangan sampai bisnis yang sudah mereka bangun dengan besar, ternyata di dalamnya ada kebobrokan yang tidak diketahui karena tidak tercatat dengan baik.

Tidak ada komentar: